Karya
Hasyuda Abadi, IPS
(hasyuda@yahoo.com)
RINTAN
terjaga dengan muka pucat. Untuk kesekian kali, ia menemukan sepucuk surat di
bawah bantalnya. Surat dengan bentuk tulisan yang serupa, sejak setahun lalu.
Latin tegak dengan huruf k dan d yang baik. Mirip tulisannya
sendiri.
Kepada
yang tercinta: Rintan. Demikian
tertera di sampul. Di bawahnya dituliskan
alamat yang memungkinkan surat itu tiba di rumah ini. Memang tidak ada
kata 'di bawah
bantal', namun surat dari Sireggi sampai ke tangannya selalu melalui bawah
bantal.
Kali
ini Rintan tidak langsung membukanya. Ia mencuba mengingat berita terakhir yang
dia sampaikan kepada Sireggi. Pasti
ada sesuatu yang membuat Sireggi berminat membalasnya lebih cepat. Rintan lupa,
tapi ia masih bertahan untuk
tidak segera membuka surat Sireggi. Kali
ini ia memilih mandi lebih dulu, dan berniat
minum teh manis.
Di
bawah siraman air shower, pikiran Rintan mengembara.
Ia menuduh Sireggi sedang mempermainkannya.
Lelaki itu tak pernah mau berkunjung lagi, meski berulang-kali Rintan memintanya
melalui surat.
"Sireggi,
kekasihku. Bagaimanapun aku punya rasa rindu," demikian tulis Rintan pada salah satu suratnya. "Dapatkah kau meluangkan waktu untuk
singgah ke rumah? Berapa jauhnya antara Bokara dan Sulaman? Hanya lima jam
perjalanan dengan Ekspres
Tung Ma. Bahkan hanya tiga suku jam dengan Boeing 737. Demikian sibukkah,
sampai hari Minggu pun kauhabiskan untuk melatih teater?"
Surat
Rintan yang penuh harapan itu seperti terlempar sia-sia ke tengah buih
lautan. Surat balasan yang kemudian diterimanya nyaris tak sebanding
dengan bara rindu di dadanya. "Rintan di rumah, mungkin saat ini kau sedang
menabur jagung untuk sepuluh merpati kesayanganmu. Sudahkah kau menonton filem Onegin?
Sebuah karya Alexander Pushkin yang demikian puitis. Aku
menyaksikan hampir sembilan kali, seperti ketika aku ketagihan Last
Tango in Paris. Entah kenapa. Lalu aku teringat kau. Ya. Kau harus
menontonnya."
Sungguh
Rintan tidak mengerti. Mengapa suratnya dan surat Sireggi seperti short message service (SMS) yang salah waktu? Ada selisih
informasi. Rintan teringat salah satu cerita Isaac Asimov. Dikisahkan tentang
seorang ibu yang menyuruh anaknya di stesyen antariksa, agar terus mengajukan
pertanyaan ke pesawat yang terkatung-katung di langit. Itu lebih efektif,
ketimbang diam menunggu jawaban. Jika suaranya sampai, seseorang yang diajak
bicara jauh di luar angkasa akan berturut-turut pula mengirim jawapan.
Disambarnya
tuala, untuk membelit tubuh. Ia melompat dari kamar mandi serupa tupai. Di rumah
itu, sepagi ini, mungkin belum banyak yang terjaga. Subuh baru saja selesai.
Terdengar desis air yang dimasak Kak Dakiyah di dapur. Selebihnya kicau burung,
dan suara permulaan program tv dari ruang tengah. Mungkin ayah baru saja bangkit
dari kamar dan mencari siaran tv melalui alat kawalan.
Setelah
menyikat rambut, dan memandang wajahnya yang kuyu di depan cermin,
Rintan seperti teringat sesuatu. Semalam ia tidur sangat sedikit. Rasanya
ia telah menghabiskan waktu untuk
menulis surat kepada Sireggi. Atau sesuatu yang lain?
"Rintan!"
Suara ibunya memanggil. Pintu kamarnya terbuka oleh dorongan tangan.
"Kamu
kuliah hari ini?"
"Ya.
Kenapa?"
"Hantar
Mama ke toko bunga Syahbandar Flowers di pekan."
"Ada
yang ulang tahun, Ma?" tanya Rintan sambil lalu.
"Astaghafirullah!"
Ibunya masuk ke dalam kamar. "Kamu lupa ulang tahun Badarudin?"
"Badarudin
Panglima Mohd Taha? Mengapa Mama jadi kelam kabut?" Rintan duduk di ranjang
dengan kesal. Ada semacam niaga antara orang tuanya dan salah satu rektor
perguruan tinggi. Badarudin anak
rektor itu, yang dipuja dan dikagumi di kampus kerana pesona
intelektualnya.
"Aku
alergi pemuda itu! Terlalu kurus. Dan, ia hanya berminat pada komputer."
Ibunya
ikut duduk di sebelahnya. Tersenyum sabar. "Setidaknya kau mulai
memperhatikan dia. Mama bahkan tidak tahu kalau Badarudin jaguh komputer."
Rintan
merasa semakin tidak senang. Rongga kepalanya hanya berisi Sireggi, seseorang
yang jauh. Lelaki yang rajin menyuratinya dan langsung mengirimkan ke bawah
bantal. Lelaki yang dalam suratnya kerap menceritakan beberapa pertunjukan
teater yang sulit dilupakan karena sangat berkesan. Misalnya tentang 'Lelaki
yang Menikahi Hujan'. Ah, mana surat itu? Rintan berdiri dengan kasar.
Rintan
tidak memperhatikan mamanya.
"Mama
mandi dulu, ya. Awas, jangan ditinggal!"
Rintan
tetap tidak menanggapi. Ia mencari surat Sireggi, lalu segera membacanya.
Huruf-huruf di dalamnya bagai menari dan menyihirnya untuk terbang ke
awang-awang.
"Kekasihku
tercinta. Lama aku berpikir untuk datang ke Sulaman seperti harapanmu. Tapi,
selalu saja ada pekerjaan yang memburu. Sesuatu yang sulit kutinggalkan, bahkan
untuk sehari-dua. Hampir setiap hari aku menerima tamu, yang datang tidak tentu
jadual. Pernah di suatu subuh, seorang kawan mengetuk pintu kamarku, meminta
kepastianku mengisi acara di fakultinya. Memang lagi-lagi teater. Sebuah dunia
yang berisi blocking, cahaya, dan bahasa tubuh. Dunia yang kata-katanya
bisa muncul dari mulut ataupun benda di sekitarnya.
Dunia yang memiliki dimensi-dimensi waktu dalam satu proscenium,
sepanjang kita mau mentafsirkannya.
"Rintan,
saat ini sedang kutulis sebuah naskah yang sangat mempesona. Setidaknya bagiku. Kupilih judul Deja Vu. Aku yakin kau
tahu maknanya. Sesuatu yang sama yang
pernah terjadi. Kita terlibat di dalamnya, atau menyaksikannya. Ini tentang
seorang lelaki yang kemudian bingung dengan suatu pilihan di akhir cerita. Maaf
kalau aku membuatmu penasaran. Sesungguhnya, engkau pun membuat aku penasaran.
Mungkin itulah yang menyebabkan cintaku tidak kunjung padam.
Cinta
yang tak menemui batas. Cinta yang mulai takut pada sebuah kenyataan.
Rintan, apakah saat ini, atau tadi, kau sedang menabur jagung untuk
sepuluh merpati kesayanganmu?"
Rintan
menghela nafas. Ia tak pernah sekali pun memberi tahu tentang merpati
peliharaannya kepada lelaki yang tidak menyukai telefon itu. Tapi Sireggi
nyaris seperti Harry Potter
dengan kepandaian yang lain. Ia bahkan tahu jumlah
merpatinya. Apakah itu penyebab Rintan jatuh cinta? Mencintai seseorang
yang tahu benar, bahkan barangkali: letak tahi-lalatnya. Bagaimana mungkin,
Sireggi yang faham akan segala yang lengkap tentang perasaannya, tega
mengabaikan permintaannya?
"Tahukah
kau, Rintan? Aku sedang memilih waktu yang tepat untuk mengunjungimu. Walaupun
aku tak mempercayai sejumlah tempat dan nama-nama, tapi `waktu' bagiku sungguh
mempesona. Boleh jadi, hari Valentine sangat baik untuk pertemuan kita. Hari
yang penuh dengan bahasa bunga, saat terindah untuk memperkukuh akar-akar cinta.
Antara kau dan aku, Rintan. Kufikir, menunggu hari itu tiba, tidak memerlukan
lautan kesabaran. Bukankah sudah amat dekat?"
Kemudian
Sireggi mengakhiri suratnya dengan kata-kata `peluk-cium'. Bahasa
klasik yang mungkin banyak dipergunakan remaja tahun tujuh-puluhan.
Ungkapan yang mulai tak lazim ketika e-mail menjadi pengganti surat dan kartu
pos. Tetapi, inilah yang barangkali membezakan romantisme Rintan dan Sireggi
dengan remaja zaman sekarang.
Rintan
melipat kembali surat itu. Menghela nafas, seperti bermakna melupakan
sesuatu yang menyedihkan. Serbuk harapan ditebar oleh Sireggi, tapi
perasaannya gundah. Ia
bergegas menuju meja makan. Dihirupnya teh yang mulai dingin. "Ma,
aku tunggu di mobil."
Ia
melewati ayahnya yang mulai membuka surar khabar pagi. Minta diri dan mencium
tangannya. Ketika menuju garaj, ia teringat akan surat yang ditulisnya
semalam
untuk Sireggi. Ia kembali ke kamar dan mendapatkannya: catatan
panjang serupa novelet dengan gemuruh badai di dalamnya. Riuh-rendah
perasaan cinta yang mirip ombak dengan susunan gelombang yang beriring dahsyat.
Entah kenapa, ketika memasukkan sejumlah halaman tebal itu ke dalam sampul,
matanya berkaca. Dadanya bagai hendak meledak. Membuat Rintan lupa pesan ibunya
untuk mengantar ke Syahbandar Flowers. Ia meluncur sendiri dengan
timbunan kegelisahan. Seperti berjalan dalam tidur, perilaku yang pernah menjadi
kebiasaan ketika umur sepuluh tahun. Seperempat jam kemudian ia telah
berada di Jalan Tuaran yang padat
oleh sebuah pagi yang sibuk.
Rintan
berlari kecil menuju fakultinya setelah meletak kenderaan di mulut kawasan letak
kereta. Ia abaikan bunyi telefon bimbit dalam tas kecilnya. Cita-citanya hanya
satu: ingin segera berada di kelas dan mungkin sebuah tangis segera pecah di
sana. Ada yang ia sesalkan dari tulisan Sireggi. Valentine Day! Yang
teringat mengenai hari itu adalah sebuah kematian. Sepanjang jalan ia mencoba
mengaduk seluruh kenangan, namun tak kunjung muncul nama atau wajah seseorang
yang mati di hari itu. Tapi, pasti seseorang yang sangat dekat, atau sangat
berkesan.
"Sireggi,
mungkin ini agak menyakitkan bagimu." Rintan menuliskan kalimat
tambahan di bawah surat panjangnya. "Seandainya kau datang sebelum
atau
sesudah tanggal 14 Februari, aku sangat berterima kasih. Nanti tentu
kuceritakan
sebabnya." Dan, mobil pos keliling, pada tengah hari, segera
mengurus perjalanan surat
itu ke Bokara.
***
RINTAN
menghabiskan waktu di Teater Bandar Raya - mula menemani Hamzah Agung
dan Wulan Tagina yang sibuk menyiapkan pentas ‘Bukan Bunuh Diri’.
Namun, hingga jauh malam, ia tidak ingin pulang. Ia tak peduli waktu. Sampai
Hamzah membujuknya, bahkan kemudian menghantarkan ke rumah.
Di
meja kamarnya, Rintan mendapatkan VCD film Onegin. Tidak ada sepucuk surat pun
sebagai pengantar. Atau, Sireggi telah datang? Sementara ia justru pergi
seharian. Kenapa orang rumah tidak menghubunginya? Rintan nyaris membanting
telefon genggamnya. Tiba-tiba ia merasa menjadi anak tunggal dengan penyakit
jiwa yang parah. Tinggal dalam kesunyian yang mengerikan, di rumah besar yang
hampa.
Sudah
lewat tengah malam, ketika Rintan memutar Onegin. Filem yang pernah
diceritakan Sireggi dalam suratnya. Namun, perasaannya tidak kunjung
tenang, kerana esok tanggal 14
Februari. Tanggal yang hendak ia hindari. Menyebabkan tubuhnya gemetar oleh rasa takut yang aneh. Jika besok
Sireggi muncul di rumah, sama ertinya lelaki itu telah mengabaikan harapannya!
Telah mengkhianati perasaannya!
Mata
Rintan nyaris tak terpejam sampai matahari terbit. Badannya demam,
membuat ibunya sibuk menelefon doktor. Tapi Rintan menolaknya: "Aku
tidak sakit, Ma! Aku cuma marah kepada Sireggi! Tolong jangan bukakan pintu
untuknya! "
"Sireggi?"
Ibu dan ayahnya saling berpandangan. Perasaan khuatir mengalir.
"Dia
yang selalu mengirimi aku surat! Kemarin dia datang, bukan?" Rintan
menunjukkan sebuah VCD dan, astagafirullah! Dari laci mejanya, ternyata
ada sebuah
naskah drama Deja vu. "Mama bilang apa sama dia? Apakah dia akan
datang lagi hari ini?"
"Rintan,
badanmu amat panas...," Ibunya memeluk. Tatapannya menyimpan cemas.
Mengisyaratkan kepada ayahnya agar segera mendapatkan bantuan doktor.
"Kamu
semalam berjaga, kan? Biar Mama telefon Badarudin untuk menemanimu."
Rintan
serta-merta menolak. Bahkan dengan sedikit histeris. Berulang kali ia
katakan, bahawa ia sama sekali tidak berminat dengan pemuda kurus yang
kutu-komputer itu. Tapi, ada yang lebih membuatnya waswas. Bunyi bel pintu!
Pandangan mata Rintan kelihatan tegang. Siapa pagi-pagi datang bertamu?
Kamar
mendadak hening, kerana semua telinga terpasang untuk suara berikutnya,
sesamar apa pun. Rintan mendengar ayahnya mempersilakan seseorang masuk
ke
rumah. Dari percakapan yang sayup, dapat diduga tamu itu lelaki. Dan,
langkah
yang kemudian tersimak, agaknya mendekat ke arah kamar.
"Rintan,
ada yang mencarimu." Lalu terdengar ayahnya mempersilakan seorang lelaki
masuk. "Dari Bokara."
Rintan
memandang tamunya dengan tangan kencang menggenggam telefon genggam. "Siapa
kamu? Pasti bukan Sireggi!"
"Aku
pemilik alamat yang selalu kaukirimi surat. Aku memang bukan Sireggi. Tapi aku kawan Sireggi. Namaku Majujen. Ada enam belas
surat kuterima, tapi aku tak berani membukanya. Aku tak yakin kalau kau tidak
mengetahui. Sireggi telah meninggal. Persis hari ini, setahun yang lalu."
Rintan
seperti melihat seseorang dalam genangan minyak yang berkilau. Lambat
laun mengabur. Pendengarannya hanya menangkap suara samar-samar. Mirip
khutbah yang datar dari seseorang yang berjalan menjauh. Ini memang hari
yang ditakutkan. Hari yang
mengingatkan trauma itu: ketika Sireggi tewas dalam sebuah
kemalangan.
Majujen
gemetar ketika mulai membaca surat-surat Sireggi. Surat cinta yang selalu
menyusup ke balik bantal tidur Rintan. Surat yang ditulis perempuan itu, yang
berperanan sebagai Sireggi, sejak keperibadiannya terbelah. Dan,
diam-diam mencintai tubuhnya
sendiri.
Ikatan Penulis Sabah,
Kota
Kinabalu.
19
Mei 2002