SINGAPURA
O SINGAPURA
Ismaily
Bungsu MEREKA
pada sibuk. Mengejar sang waktu yang hampir malas. Mereka makin bernafsu
tanpa tau pantang tatakrama. Mau saja dilahap sampai kenyang. Lalu
kemudian tidur di ranjang hingga ngorok sampai pagi. Sialan! Di
mana-mana saja orang asyik bicara.
Mereka membuka mata luas dan besar. Besar dan luas. Mereka
memejam mata kapan melihat bahaya dan selalu membuka mata luas dan lebih
besar semula kapan kesempatan ada. Bukit diruntuhkan. Mobil bertukar
ganti. Isteri perlu ditambah atau cukup dengan simpanan/Cars
are changeable. Wife should be added or enough as mistresses) Mereka
melihat wang dan menghitung wang sambil mengharap untung. Menghitung dan
melihat wang. Melihat wang dan menghitung untung. Mereka bicara besar
sambil mabuk di meja dan lalu berbuat sesuatu yang besar. Yang tak mabuk
kekadang pura-pura mabuk supaya merasa betapa enaknya mabuk. Orang kita.
Kita orang. Begitulah. Kapan
semua hal menjelma entah bagaimana tiba-tiba saya merindukan alam hijau.
Merindukan padang-padang hijau yang terluka yang selalu ada gelombangnya.
Bergelombang dan bergelombang. Merindukan sawah-sawah yang membentang di
kampung halaman atau "Missing
all the paddy fields in home town" dan di atasnya
ada pula langit biru serta awan yang beringsut perlahan.
Beringsut perlahan-lahan. Satu-satunya tempat saya nantinya pulang. Iya,
satu-satunya. Tak ada yang lain. Satu-satunya. Di situlah. Fajar
siang tiba-tiba membisikkan hidup setia rela. Hidup setia amat rela.
Bermulalah perjalanan yang amat panjang
atau Beginnging of the
long journey. Amat panjang hingga senja menjelang dan dari mula
malam melalui ruang jendela dimana cahaya membakar sekitar. Saya melihat
semuanya. Semuanya. Tak ada yang sisa. Semuanya. Iya, semuanya. Rendra
tiba-tiba berada di depan saya dan lantas berbicara tentang orang-orang
miskin yang di jalan, dalam selokan, dalam pergulatan, diledak oleh
impian dan minta jangan ditinggalkan. Menurut Rendra angin membawa bau
baju mereka, rambut mereka melekat di bulan purnama dan yang bunting
berbaris di cakrawala. Iya,
saya lihat bebayang mereka orang-orang miskin adalah orang-orang berdosa,
bayi gelap dalam batin, lalu menghambat diri dan jauh-jauh berakhir
dengan sedih melihat gelap yang ada di mana-mana. Kemudian
Taufik Ismail lantas bicara tentang dua ratus juta mulut yang menganga
yang lantas dikatakan adalah pulau Jawa yang tenggelam sirna di lautan
api dan dengan marah ia berkata "Kembalikan Indonesia padaku"
yang lalu suaranya masih terus bermain di ingatan dan tiba-tiba tanpa
saya duga Khairil Anwar berteriak dari seberang sambil membawa dupa dan
mengatakan ia mahu hidup seribu tahun lagi. Iya, seribu tahun lagi. Saya
jadi pusing dan berfikir panjang. Melompat-lompat dari dahan ke dahan.
Dari ranting ke ranting. Ah, mana mungkin itu bisa terjadi. Mana mungkin.
Tidak mungkin. Gila! Nah,
kerana hidup yang pendek dimana pegangan selalu tak hinggap dan tongkat
semakin jauh sirna. Iya, amat jauh yang barangkali tidak ada yang
menyedari hakikat alam dan membaca erti lagu alam. Iya,
makanya marilah kita duduk di sisi dan berbicara semahu kita
tentang orang miskin yang menyanyi lagu lapar atau apa saja yang
mimpinya api menyala-nyala membakar sukma atau bicara gelombang yang
entah kapan berakhirnya sebuah duka atau berjuta-juta duka.
Berlaksa-laksa duka atau berkoyan-koyan duka. Memang
benar kata kita. Kita berdiri di sini. Iya di sini. Tidak di mana-mana.
Tentunya kita berdiri di
antara pohonan dan arca batu-batu setia, sambil mengintai biru langit di
mana awan masih berarak ke arah utara yang lalu membawa khabar tentang
tandusnya cinta kita sesama dan tentu saja seorang saya terpenjara dan
terlantar yang selalu saja bersiap sedia menerima hakikat nyata meski
pahit kesannya. Iya,
memang kita terasing di sini. Bernafas dalam debu menusuk udara.
Menghirup bau hanyir longkang sambil mencari harga diri yang hilang
dalam gumpalan putus asa. Lalu meronta-ronta. Memungut
mimpi di dalam malam. Memunggah sepi di perut siang untuk
kesekian kalinya. Dalam
keadaan kembara sendiri yang tak henti-henti bagai padang luka sesal dan
tiba-tiba ada saja yang berkata bahawa semua orang kelihatannya
mahu berdiri sama atau duduk sama yang di kanannya adalah seorang gadis
yang mencitrakan rindu dan air mata dan derita yang dilangkahi
pada panggilan yang terhenti. What'd
happened around me? Orang-orang
di sini memang ada yang tidak pernah berkata. Orang-orang di sini ada
yang tidak pernah tunduk menghitung pasir. Kerana dalam hati adalah
menit yang terus berlari. Berlari dan terus berlari. Dalam nadi adalah
darah yang tidak lagi bererti. Tidak bererti apa-apa. Tidak punya sebuah
rumah tempat tinggal. All are
owned. Tidak punya makanan yang seenaknya untuk dimakan. Selain
sekeping hati yang keras dan sebuah rasa yang tidak mati untuk esok yang
kering. Kering dan kering. "We
just wanted a peaceful life and not more than that" kata
seorang teman. Sedang teman yang lainnya berkata: "bukan saja itu
pak", malah yang lainpun berkata kononnya mereka mahu lebih dari
itu atau sekurang-kurangnya ada anjing peliharaan untuk menjaga tidur
malam disamping harus punya pembantu atau ada wakil untuk acara majlis
rasmi. Begitulah
bentak mereka sambil berjalan di jalanraya menuju ke kota tepat berhenti
di depan rumah menteri kebajikan. Rapat terjadi sambil mereka kebarkan
panji-panji perjuangan. Alasan mereka kononnya ekonomi negara kian
membaik. Itu hakikatnya. Tentunya kita kurang mengerti kenapa sedemikian
sudahnya? Siapakah mereka
yang memenuhi jalan raya? Demikian jadinya. Setiap warga kota yang
terpinga-pinga kerana tak tahu asal cerita yang tiba-tiba saja menjelma
depan mata. "What'd
happened?"
tanya seorang kawan saya. Saya sendiri tidak tahu pasti dan saya lihat
ada pula yang marah-marah. Iya, marah-marah. Entah sengaja entah tidak.
Saya tidak tahu. Benar-benar tidak ngerti. Kita kononnya tidak
memerhatikan orang lain. Yang benar? Kurang menjaga luka atau membiar
saja mereka terluka atau terbenam oleh belati kasih. Tak kurang mencuba
dan mencuba meletakkan kaki mereka di atas kepala kita yang selama ini
hanya diam terseksa yang lalu tidak mahu berkata apa-apa meski ada
sumpah berjuta-juta. Berjuta-juta sumpah. Memenuhi jalan raya menuju ke
kota. Memang
seingat saya dahulu kala ada yang mengungkapkan persoalan tentang si
kaya dan simiskin yang kononnya dianggap berbahaya. Lalu kala itu semua
orang cemas. Benar-benar cemas. Tak ada yang bisa tenang. Kita semuanya
benar-benar jadi cemas. Tiada yang tidak cemas. Semuanya cemas. Iya,
semuanya merasa hidup bagai dalam neraka. Api bagai memijar-mijar. Panas
dan semua gundah gulana. Pahit kesannya. Kalau
nanti pada rasa pasti bisa memuncak gejolak rasa yang terhimpun terseksa
sukma, akan pasti akhirnya rasa kecemburuan sosial bisa sampai di kepala
kita yang bakal merosakkan kehidupan bernegara berbahagia. Apa yang
bakal terjadi? Apa yang telah berlaku di sekitar kita ini? Saya
masih tidak tahu apa-apa, Betul I
still do not know anything. Sukar sangat ditafsir makna mimpi hidup
sebenarnya. Yang nyata kita semakin gundah gulana. Api! api! api! teriak
mereka serentak. Ini bukan mimpi. Ini hidup nyata/kata teman yang lain
sambil wajahnya menyimpan duka yang gelap ada di mana-mana. Gelap
pandangan kita. Gelap dan gelap. Hitam berbelam. Katakanlah
rasa kecemburuan itu bisa meletup secara tiba-tiba atau diluar jangkaan
kita, lalu apakah sikaya akan bisa hidup tenang atau bagaimana harta
milik si kaya nanti akan bisa dihabisi? Memang kabur kelihatannya, tapi
kalaulah keadaan itu berlaku maka udara atas kepala akan pasti
bergelombang dan bergelombang. Lalu kala itu asap api hitam akan terus
menerjang dan menendang yang kita bakal dalam keadaan tak punya mata,
tak punya telinga yang akhirnya meraba-raba mencari jalanan yang hilang
di depan kita meski sebenarnya ada kilauan matahari yang
memberi warnanya dan cahaya segala. Sarang laba-laba menutup mata
kita (The cobweb will cover our
eyes.) Nah,
misalnya harta si kaya dihabisi, lalu siapakah yang mahu jadi kaya?
Kalau misalnya juga si kaya tidak ada, lalu apakah akan berlaku pada
ekonomi negara bangsa kita yang merdeka? Bisa kita hidup seperti
sekarang ini yang kelihatannya semua orang akan tunduk menghitung pasir
waktu dan melihat kita bahawa di bumi kita semacam ada emas hitam yang
terus memberi sinar dan akhirnya dalam keadaan kita serba salah, hidup
semakin menyepit dan akhirnya jua kita tidak bisa berbuat apa-apa. Iya,
gelap pandangan mata kita. Memang gelap sangat. Kesudahannya mereka
beranak pinak di sini dan tentu saja soal miskin terkesima tak dibicara
yang semacam tidak lagi menjadi kata utama. Persoalan lain pula menjelma.
Sama sekali lain. Iya, sesuatu yang tidak kita jangka. Menyulitkan.
Menyukarkan. Kita jadi serba salah. Semuanya salah. Kita jadi pusing.
Kita jadi bingung. Iya,
ini memang sebenarnya sesuatu yang baru. Persoalan baru yang kita lihat
dan rasakan adalah udara yang semakin menyesakkan, yang akhirnya kita
bergerak dalam keadaan kasak kasuk bagai di gang-gang yang sempit dan
berbau sampah yang akhirnya hidup kita sebenarnya berada dalam
kekhuatiran yang amat sangat dan saban waktu tidak kira baik malam
maupun siang menjelma akan ada saja sang pencuri yang membayang di
sekitar kita. Awas kamu! Di
jalan siapa membawa mobil perlahan-lahan di maki-maki dan terjadi
kehidupan yang baru. Kehidupan yang sama sekali lain. Di tengah-tengah
kemacetan dan mata hari panas membakar kepala. Hati kita turut terbakar
dan tenaga kita terus dibakar. Dibakar. Jiwa kita terus dibakar dan
dibakar. Marak dan menyala-nyala. Menyala-nyala. Marak dan menyala-nyala.
Marak lagi. Menyala lagi. Berulang kali. Berkali-kali. Dunia
kita jadi asing. Benar-benar asing/Truly
strange and foreign. Asing dalam diri kita sendiri. Dunia kita
adalah dunia yang tersendiri kerana selalu saja terkunci di penjara.
Tetangga adalah orang lain. Memang orang lain. Tetangga adalah pencuri.
Tetangga adalah maling. Tetangga adalah banduan.
Adalah pengemis atau narapidana asing di sebuah penjara lain. Iya,
di penjara lain. Kelihatan
baik kamu atau saya sendiri akan memilih untuk diam. Kerana berdiam
lebih baik dari berkata-kata. Atau barangkali berfikir sesuatu yang
seharusnya. Lalu dalam hati sebentar tadi, memang saya mengusul supaya
kita diam dan berfikir. Berfikir dan diam. Diam dan berfikir tanpa
sejenak berhenti untuk bertanya yang kita sudah di mana berada. Ayuh,
kita duduk dan berfikir. Kita santai. Kita merokok dan asapnya kita biar
terkesima ke udara. Berkepul-kepul ke udara. Bebas lepas. Lepas dan
bebas. Semahu-mahunya. Biarkan! Iya,
biarkan saja asap itu berkepul-kepul naik ke angkasa. Naik ke angkasa.
Berkumpul di angkasa dan nantinya bakal jatuh lagi bersama hujan.
Biarkanlah. Biarkan si Luncai terjun dengan labu-labunya/Let
Luncai jup into the water with his gourds. Biarkanlah! Jangan ganggu.
Astaga, hentakan sepatu siapa yang semakin dekat itu? Sepatu? Iya,
hentakan sepatu siapakah itu? Cuba saja dengarkan! Semacam mengganggu
kala kita asyik berbicara. Bukan dekat tapi memang sudah bertapak. Bukan
saja bertapak, tapi sudah lama di sekitar kita. Entah
siapa yang akan pergi dan entah siapa pula yang akan datang? Tiada yang
mengerti apa maunya, baik kaki atau tangannya. Yang dihitung apakah
malam berbintang atau panas panjang sampai ke petang. Iya, saya
mendengar ada suara detik arloji tetap menghitung seorang demi seorang.
Tidak, bukan seorang tapi beribu-ribu orang. Mungkin saja berjuta-juta
orang. Saya geleng kepala. Rasanya terlalu sulit untuk saya fikirkan.
Agak keras. Memang keras. Teramat keras. Iya,
apa bahayanya kala mereka sedemikian melarat di sisi? Apa bahayanya
mereka menagih budi di sini? Apa bahayanya mereka bicara seenaknya di
sini? Di sini mereka berkata kepingin kekasih dan pada diri adalah lacur
yang membohongi setiap detik dan kita selalu saja berbicara tentang budi
manusia tapi kita tetap dikutuk yang menjadikan kita terhina, terpinggir
dan tersalahkan. Tersalahkan/Serba salah. Memang serba salah. Dunia
serba salah. Serba salah. Ramai tak mengerti. Yang mengerti pura-pura
tak mengerti dan selalu menyalahkan orang lain. Menyalahkan kita. Tentu
semua orang tahu dan semua orang menghafal langkahan yang terjadi di
depan mata atau barangkali mencuba menghafal apa saja yang berlaku sejak
sekian lama hingga kini. Tidak, kita sebenarnya bukan mahu melupakan
mereka yang melarat. Tidak sekali.kali. Tidak mungkin. Kita tidak akan
melupakan mereka. Mereka yang terbuang. Mereka yang derita. Mereka yang
tersisih. Mereka yang berdukacita. Untuk apa saja atau kapanpun kita
sudah lama bersiap sedia meski kita akan hidup bersama dalam pekat malam
mencari cahaya yang tak pernah ada. Iya,
memang di sini banyak cahaya. Berjuta-juta cahaya. Cahaya ada di
mana-mana. Bermacam cahaya. Kita tidak lupa. Memang kita tidak lupa.
Lagipun agama telah mengajar untuk selalu menghantar cahaya
atau "Furthermore
religion had taught to always provide light". Memberi cahaya.
Apa lagi kala sama fahamannya dan sama citra hidupnya yang akhirnya
menyerah kepada Dia yang selalu di sisi kita. Tidak sekali-kali. Yakin
dan percayalah. Kenapa
mereka harus pergi ke sisi kita? Itu
pertanyaankah? Tentulah. Tentu saja akibat sirnanya kebahagiaan milik
mereka yang bagai neraka. Bagai penjara Hibra. Kita biarkan dan relakan
mereka bernafas di sini. Di bumi terbuka. Sesuka hatinya. Dada terasa
sebak. Sempit dan menyepit luka. Luka dan sempit menyepit. Kekayaan
kata mereka banyak di sini/They
said wealth is everywhere around. Menggunung membukit. Mereka bisa
makan apa-apa saja. Di negara mereka ada bencana. Bermacam-macam bencana.
Beribu bencana, malah berjuta bencana. Ada huruhara. Ada gaduh di bawah
meja. Ada gaduh di bawah tanah. Iya, di bawah tanah. Ada setan menjelma
di setiap kota dan di setiap
desa dan macam-macam. Gunung bagai terbakar. Bukit terkesima. Nah,
keadaan itulah, makanya mereka ke sisi kita. Iya begitulah. Datang
secara naik tongkang. Datang secara diam-diam. Datang secara sulit kala
malam menjelang atau kala ombak tak senang dan gelombang menerjang dan
angkasa hitam berbelam dan bebintang tidak ada dan akhirnya apa yang
tidak kita inginkan menjadi terjadi. Terjadilah apa-apaan yang memang
kita harapkan tidak menjadi apa-apa atau sesuatu yang tidak kita
inginkan ia berlaku. Ini mimpi ngeri kata ibu saya yang tewas. Ayah saya
diam tak berkata apa-apa. Akhirnyanya beginilah. Macam-macam yang terjadi. Kita dalam keadaan yang tidak rukun. Kita tidak lagi melihat rama-rama dan kucing peliharaan bermain di tangga sambil menanti kita pulang. Kita kehilangan anjing. Kita kehilangan siulan burung beo. Benar-benar kehilangan segala. Kita ikut menanggung beban. Tidur malam kita tidak lagi tenang. Mimpi buruk selalu saja ada baik tidur siang atau tidur malam. Hidup kita bagai di kelilingi api neraka yang bila-bila saja bisa membakar rumah kita. Dan kemudian kita semacam selalu saja berebut sebutir nasi yang ada. Nah,
cuba saja kita tanyakan bahawa siapa saja antara kita yang bisa tenang
dan siapa saja yang jadi rukun nantinya? Tak ada. Kita tentu dalam
keadaan kecemburuan yang bisa meledak dan akhirnya ada saja sepanjang
jalanan bakal dipenuhi oleh rakyat yang mahukan perubahan. Iya,
barangkali sedemikian terjadi nantinya. Kita
melihat orang lapar. Iya, orang lapar. Kita melihat mereka tunduk
mengingat saatnya lapar. Perjalanan mereka terasa pendek dalam
langkahnya yang terus bergema. Suaranya menyanyikan lagu lapar. Lapar
ada di mana-mana. Iya, lapar. Lapar kata seorang lain. Yang lain selain
yang lain juga berkata lapar. Kata lapar menjadi kata korus dan akhirnya
semua orang berkata lapar. Berulang kali. Berkali-kali-kali. Berulang
kali. Lapar lapar lapar lapar lapar lapar lapar lapar lapar lapar dan
lapar itu rupanya melewati sebuah gang. Lalu suara lapar itu bergema
dari kota ke kota/The hungry
voice mesmerizing from one city to another). Dari desa ke desa.
Memenuhi angkasa. Iya,
ada bau roti, ada mau mee, ada bau tau goreng, ada bau kencing, ada bau
sampah dan kemudian di jalan raya ada yang menyanyi. Lapar dan mari kita
lapar kata mereka. Lapar dan mari kita puasa kata yang lain. Lapar dan
mari kita berbuka kata yang ada di belakang. Begitu hingga hilang di
kepala, di jantung, di urat, di kulit, di bibir, di lidah, di liur
adalah pahit kesannya lalu pahit itu sama-sama kita telan. Lalu
nantinya jadi apa? Revolusi? baik hari esok atau lusa akibat kasus yang
diperkatakan ini? Mungkin tidak dan mungkin juga iya kala kesabaran
sudah sampai di puncaknya. Tapi saya tidak yakin sejauh mana perasaan
kita tentang hal ini-kalau pun ada reaksi, almaklum mungkin saja
terpengaruh untuk mengubah apa yang sudah diputuskan. Satu
hal yang nampak sekarang ini ialah bahawa kita sebenarnya menyaksikan
sebuah masyarakat yang secara tidak sedar kita terpisah-pisah. Kita
tidak tahu secara jelas lagi bahawa sebuah warga tidak bisa memutuskan
akibat kala ada yang masih belum terselesaikan jua segala.
Memang
begitulah hakikatnya yang nyata. Barangkali kerana itulah sesuatu yang
tidak terfikirkan terjadi bisa terjadi. Terjadi kala bulan cahayanya
gelap. Berbondong-bodong dengan alasan yang yang bukan lagi alasan.
Sesuatu yang tidak seharusnya berlaku. Lalu apa saja alternatif kita
sekarang? Bagaimana nantinya bentuknya dan warnanya keadaan dalam sebuah
negara dan bangsa itu sendiri? Sebuah
masyarakat misalnya? Masih saya tidak tahu. Saya masih terus saja
bertanya kerana saya memang tidak tahu. Meski ditanya. Jawabannya pasti
sama saja. Tak ada beda. Ah,
jawabannya barangkali: tidak ada alternatif lain yang memadai, tetapi
kiranya sudah ada saatnya kita berfikir tentang hidup suatu proses yang
menyebabkan sebahagian besar seorang merasa ikut punya pengaruh untuk
menentukan apakah perlu kita berbuat seperti yang ada sekarang .
Silakanlah! Atau
barangkali apakah kita harus berdiam diri saja melulu tanpa
berbuat-apa-apa atau bagaimana iya. Ah, memang sulit dan akhirnya rasa
sulit itu menyebabkan saya tidak terdaya untuk memberikan makna dan
entah bagaimana tiba-tiba saya terjaga dari lamunan kala ada suara entah
dari mana datangnya bahawa kita katanya sudah sewajarnya melakukan apa
yang dilakukan demi kebahagian kita. Kalau
tidak kita lakukan katanya entah kita bakal ke mana dan tiba-tiba di
kaca tv saya lihat ada Anita Sarawak menyatakan begini "Singapura
o Singapura" lalu tiba-tiba rindu itu serentak dicabut rasa dan
melayang-layang dari ruang ke ruang. Dari kamar ke kamar. Kamar jadi
gelap dan asing. Asing dan gelap. Seorang kekasih lalu menutup bibir
matanya dan mendoakan sebuah mimpi. Mimpi yang entah jadi apa. Tidak
pasti. Samar dan kabur serta gelap pandangan. Singapura o Singapura. Kapan kita ketemu lagi?- Singapura o Singapura. Kapan kita bicara lagi? Singapura o Singapura. Kapan kita bisa mengerti? Dan sesudah itu saya berkata sendiri. Saya masih di sini duhai Anita. Masih menghitung untung rugi. Masih melihat lelangit yang entah bakal jadi apa dan esoknya tercatat sejarah maruah kita di bakar di Jakarta dan hal sama berlaku di Filipina. "Apa maksudnya?" itu pertanyaan sobat saya dan pertanyaan itu tidak punya jawaban. Memang tidak ada jawaban. Begitulah!
|
||